Gegara statement Si The Queen of NgeGAS. Gita Savitri yang memutuskan untuk childfree membawa gue untuk agak flashback ke kehidapn awal pernikahan dan pertamakali punya anak.
Haha..
Susah juga ya, agak kaget sih waktu seorang Gitasav ngomong gitu, sebagai orang Indonesia dengan segala budaya dan prinsipnya. gue mikir statement dia tu lebih cocok buat gue kalau posisi gue ditanyain tentang nambah momongan kedua :D
Yuyurly bagi kami, punya anak itu menyimpan trauma sendiri sebagai pasangan. Sepengalaman gue, berkeluarga dan punya anak, adalah tentang idealisme gue sendiri sebagai ibu. Salah satunya fokus tentang bagaimana caranya memberikan memori pengasuhan yang baik untuk anak gue, jangan sampai anak gue punya memori buruk tentang orangtuanya, khususnya Ibu. Gue pingin anak gue tumbuh dengan perasaan 'waras' dan bersyukur terlahir di dunia, bukan malah menyesali.
TAPI..
Ternyata idealisme gue itu ternyata tidak berimbang dengan cara gue membuat hubungan yang 'waras' dengan suami gue. Hubungan gue sama anak bisa aja dibilang sempurna, anakku bisa se'bucin' ini sama ibunya dan gue berterimakasih atas kondisi ini. Tapi gue lupa demi hubungan dengan anak yang sempurna malah menjadikan hubungan gue dengan suami Tidak Sempurna. Banyak sekali amarah, emosi, lelah yang akhirnya terlampiaskan BUKAN kepada anak, melainkan kepada SUAMI gue. karena ketidaksinkronan kami akan ilmu tentang pengasuhan, ilmu berkeluarga, ilmu agama, sosial, dll.
Banyak hal yang harus kami benahi berdua sebelum menambah anak, tentang bagaimana menjadi lebih sinkron atau bagaimana untuk bisa lebih lapangdada menerima ketidaksinkronan. Ini usia 5 tahun pertama pernikahan yang katanya penuh terpa badai. Diantara rasa 'baik-baik saja' yang banyak, ternyata masih ada 1 kerikil yang bisa kapan hari jika tidak kami benahi maka akan memberi efek domino, ujung-ujungnya tidak rela anak terdampak kerusakan / menjadi korban.
Ya, faktanya..menunda atau tidak menunda anak tidak akan mengurangi 'repot' nya mengurus anak. Seringkali merasa sudah cukup ilmunya, ternyata ada aja aja gak taunya.
Apalagi anak pertama.
Setelah dipikir-pikir, kalau saja dari awal berhasil nunda punya anak, apakah saatnya udah siap punya anak, Allah akan langsung bisa kasih anak?
belum tentu juga.. gimana kalau dikasihnya malah lebih lama, atau mungkin gak dikasih sama sekali?
Punya nak menurut gue juga bukan sebuah tolak ukur untuk bisa merasa " penuh" di sebuah hubungan pernikahan / rumahtangga. kalau kita udah ngerasa "penuh" tanpa ada anak..ya terserah juga.
Maka menurutku wajar saja kalo Gitasav dan suaminya memutuskan buat childfree, semakin matang usis, semakin matang pemikiran, semakin banyak hal yang terdiskusikan, semakin siap menghadapi segala kemungkinan. Walaupun kesannya kaya "melarikan diri dari masalah" dicoba aja belom, atau seolah-olah ragu kalau Allah maha Pemberi Jalan, ya terserah apa kata orang. semua orang punya sudut pandang masing-masing.
kalo gue sih untuk gak punya anak sama sekali tu GAK MAU...paling enggak SATU lah. Karena gue butuh pewaris..pewaris apapun, bukan cuma harta, mungkin siapa tau menjadi penerus kebaikan turun temurun, dan intinya "ladang pahala", dan bikin gue ngerasa sudah menjalani kodrat aja. umum sekali kan? ya emang konvensional sih gue mah jadi manusia.
asal jangan jadiin anak sebagai investasi masa tua kita.
0 Komentar